Al Hilal Legal

A close-up of a logo

AI-generated content may be incorrect.

Sumber: tempo.co

AL HILAL LEGAL – Dalam ajaran Islam berbagai barang dan jasa yang dijual haruslah halal baik dalam bentuk zatnya, pengolahan atau prosesnya, serta cara mendapatkannya. Hal ini perlu diatur sedemikian rupa oleh pemerintah dari skala kecil seperti pedagang kaki lima hingga skala besar perusahaan konglomerasi. Status kehalalan menjadi sangat penting terutama di negara mayoritas Islam seperti Indonesia.

Namun tidak dapat dipungkiri, masih banyak penjual yang menggunakan dan menyantumkan logo halal Indonesia tanpa izin pada produk-produknya. Izin tersebut seharusnya didapatkan dari pihak yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal atas suatu produk, di Indonesia sendiri pihak tersebut disebut Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) serta Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sebagai lembaga pemeriksa halal yang melakukan audit terhadap produk.

Penggunaan logo halal tanpa izin ini berdampak negatif bagi berbagai pihak yang terkait dengan proses jual beli produk yang ditransaksikan. Contoh kasusnya yang akhir-akhir ini viral yaitu Ayam Goreng Widuran di Solo, Jawa Tengah. Warung makan legendaris selama puluhan tahun ini ternyata menggunakan minyak goreng dari babi untuk menggoreng berbagai hidangan yang dijualnya tetapi mencantumkan logo halal. Setelah kasus ini mencuat ke publik, manajemen Ayam Widuran akhirnya mengganti labelnya menjadi “non-halal” dan meminta maaf secara terbuka.

Dari kasus tersebut dibuktikan secara nyata bahwa menggunakan logo halal tanpa izin dapat merugikan banyak pihak. Pelanggan merasa tertipu, penjual mendapatkan dosa atas kesalahannya dan dicap sebagai penipu sehingga bisnis terancam hingga berujung pada timbulnya sorotan tajam terhadap lemahnya sistem pengawasan halal Indonesia.

Padahal sebetulnya hal ini telah diatur dalam peraturan-peraturan yang berlaku, diantaranya yaitu:

  • Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH)

Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 57 yang menyatakan bahwa pencantuman label halal tanpa sertifikasi resmi merupakan tindakan penyesatan informasi yang dapat dikenakan sanksi administratif dan pidana. Pelaku dapat dijerat dengan pidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp 2 miliar.

  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 8 mengatur bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar dan jujur mengenai produk yang dijualnya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan pidana penjara maksimal 2 tahun dan denda hingga Rp 500 juta, serta pidana tambahan berupa perampasan barang, penarikan produk dari peredaran, penghentian kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha.

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Mengatur jika terbukti adanya unsur penipuan dalam penggunaan logo halal palsu, pelaku juga dapat dikenakan pasal penipuan (Pasal 378 KUHP) yang berpotensi hukuman penjara tambahan

Penulis: Maya Siti Nur Hodijah

Website: alhilallegal

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *